Champions League: The Graves of Amateurs?

Champions League: The Graves of Amateurs?

BD - Sengaja, saya simpulkan judul artikel kali ini dalam bahasa Inggris. Karena, selain ingin membuat pembaca penasaran, ini bagian dari 'presentasi' saya kepada UEFA yang selalu rutin cek and ricek hasil karya para jurnalis-nya yang rutin meliput event sepakbola Eropa saban tahun. 

Mereka cukup rajin dalam memastikan bahwa jurnalis yang terdaftar di UEFA memang masih aktif dalam dunia yang menyenangkan ini.

Baiklah. Mari kembali ke judul / topik naskah kali ini: Champions League: Kuburan bagi para amatir. Kalau diibaratkan sebuah Tesis, dan judul ini adalah hipotesa 1 (H1), maka H2 nya kurang lebih berbunyi: Champions League: Panggung-nya para juara. 

Kalau kita tarik 15 tahun terakhir, atau 20 tahun deh -biar lebih jauh lagi. Anda bisa sebutkan berapa tim yang pernah mencicipi 'Si Kuping Besar'? 

Kalau Anda malas, biar saya yang jawab: Ada 9! Mari urutkan berdasarkan yang terbaru dan paling lama: Real Madrid, Barcelona, Bayern Munchen, Chelsea, Inter Milan, Manchester United (MU), AC Milan, Liverpool dan FC Porto

Dan, dari deretan para juara tersebut, hanya Chelsea yang tercatat sebagai 'juara baru' alias perdana. Sisanya hanya mengulangi alias sudah pernah juara sebelumnya. 

Menariknya, dalam kurun tersebut ada dua 'tim berpengalaman' yang tiga kali gagal setelah mencapai parti puncak: Munchen dan tim yang baru saja mencatat gelar scudetto 8x beruntun, Juventus. 

Munchen tahun 1999, 2010 dan 2012. Sementara Juve: 2003, 2015 dan 2017. 

Malah kalau mau ditarik sedikit lebih ke belakang lagi, Juventus sebenarnya sudah lima kali gagal di final sejak terakhir memenangkannya pada 1996. Yakni tahun 1997 (kalah dari Borussia Dortmund) dan 1998 (Real Madrid). 

Champions League = Liga Para Juara. Untuk menjadi juara tentu butuh bukan hanya tools, equipment, pamor. Tapi juga mental! Faktor x dan terpenting dalam elemen untuk menjadi pemenang. Dan hanya ini yang (sayangnya) tidak bisa dibeli. 

Anda boleh memboyong pemain atau pelatih termahal di dunia. Tapi tidak untuk mental. 

Tanyakan kepada Manchester City (MC) dan Paris Saint-Germain (PSG). Bagaimana dua tim dengan bohir kelas kakap dari Timur Tengah! 

Berkali-kali mereka mencoba, dan berkali-kali pula mencium kanvas. 

Tengok-lah musim ini. PSG yang sempat mengantongi kemenangan 2-0 di Old Trafford, harus terkapar secara menyakitkan usai dihajar 3-1 di Parc des Princes pada leg 2. 

Padahal dari segi penampilan, PSG jauh di atas MU yang di domestik saja tengah tertatih-tatih bersaing bersama Arsenal, Tottenham Hotspur, dan Chelsea. 

Namun aura anggap remeh dan "kepolosan Thomas Tuchel" di leg kedua yang menolak untuk 'parkir bus' berbuah fatal dengan gagal ke perempat final. 

Kebijakan klub yang mendatangkan Gianlugi Buffon, ternyata tidak berbanding lurus dengan hasil di atas lapangan. Buffon, 40, justru menjadi biang tersingkirnya PSG dengan blunder-nya saat tampil di leg 2.

Demikian juga dengan City. Meski dibesut dengan pelatih yang sudah makan asam garam di panggung Champions League, tetap saja harus mengakui Spurs dan out dari jalur menuju semifinal. 

Padahal, City terlihat begitu matang dan Pep sudah semakin 'tune in' dengan perpaduan gaya bermain tiki-taka dan pragmatis. 

Namun sekali lagi, UCL adalah panggung bagi para tim bermental pemenang, tidak untuk para amatir. 

Kini, Champions League musim ini sudah memasuki 4 Besar alias semifinal. Tim kejutan Spurs akan menghadapi "The Young Guns" Ajax Amsterdam. Di sisi yang berbeda, ada Barca dan Liverpool. 

Tahun ini dipastikan lumayan lebih berwarna bukan hanya karena dipastikan bakal ada juara baru (karena Real Madrid sudah gugur). 

Tapi tak kalah menarik pula bila kita menilik flavour dari setiap kontestan. 

Suka atau tidak suka, Barca ada ada di pole position untuk menjadi yang terbaik. Lantas Liverpool yang memang sepertinya menemukan form dan susunan pemain terbaiknya dalam beberapa tahun terakhir. Masuknya Virgil van Dijk dan Alisson Becker di bawah mistar gawang memang seperti menggenapi missing link 'The Reds' selama ini. 

Kemudian, Ajax. Ini yang menarik karena sedari awal tidak ada yang mengunggulkan mereka bakal melaju sejauh ini. 

Titik baliknya adalah ketika pasukan de Godenzonen melumat juara bertahan Real Madrid di babak 16 Besar. 

Walau ada yang meragukan itu hanya sebuah keberuntungan, namun tidak bagi sebagian pecinta sepak bola (termasuk saya). Cara Hakim Ziyech dkk menghancurkan 'El Real' adalah sebuah master piece yang memang terlihat sudah dipersiapkan sedemikian rupa. 

Saat menang 4-1 di Santiago Bernabeu di leg 2, Ajax bermain begitu sempurna. Sudah lama saya tidak melihat sebuah tim bermain 'tanpa cacat'. 

Lagi-lagi, mental berbicara! Ini yang menjadi modal mereka mampu melewati Juventus meski sudah membajak 'seorang pemenang' dalam diri Cristiano Ronaldo. 

Kontribusi dan pengaruh CR7 memang harus diakui cukup terasa, tapi dia belum selevel Diego Maradona yang mampu mengangkat 'tim kampung' dari selatan Italia, bernama Napoli menjadi juara Eropa. 

Sementara itu, semifinalis lainnya yaitu Spurs juga menarik untuk kita kupas. Mirip dengan Ajax, The Lilywhites menyingkirkan City dengan style ditunjang dengan 'anggap remeh' lawan terutama di leg 1. Mereka relatif menguasai permainan dan memiliki sejumlah peluang yang terbuang percuma. Termasuk penalti gagal dari 'Si Paha Besar' Sergio Aguero. 

Alhasil kemenangan 4-3 di Etihad Stadium pada leg 2, menjadi tidak berarti karena mereka kalah aggregate.

Tottenham Hotspur Stadium, sejauh ini tampaknya cukup membawa hoki dengan untuk pertama kalinya tim asal London Utara ini berhasil melaju ke semifinal UCL. 

Satu lagi Liverpool. Ini tim yang pendukung-nya mulai meniru MU keluar masuk goa. 

Titik baliknya yakni ketika The Reds berhasil menyingkirkan Munchen di fase 16 Besar. Lagi-lagi, gelontoran ratusan juta poundsterling untuk Alisson dan van Dijk ter-afirmasi dengan kekokohan lini belakang-nya. 

Di Anfield, pasukan Jurgen Klopp berhasil memaksa pertandingan berakhir kacamata alias 0-0. Di Allianz Arena, beban mereka secara psikologis menjadi lebih muda. Sedikit di luar dugaan, tuan rumah mereka bekap 3-1 yang artinya para pemain Munchen gagal menaklukkan Alisson di 180 menit permainan. Karena satu-satunya gol Munchen lahir dari 'bunuh diri' Joel Matip. 

Di perempat final, jalur mulus menanti. Liverpool hanya bertemu FC Porto yang praktis menyandarkan harapan kepada kiper gaek Iker Casillas. Hasilnya, gawang eks punggawa Real Madrid tersebut dihempaskan enam kali. 

Pekan depan, para semifinalis akan kembali berjibaku untuk memperebutkan dua tiket ke Wanda Metropolitano dalam tajuk "Road to Madrid". Menarik untuk ditilik siapa yang akan melaku ke partai puncak? 

Ada yang mengatakan chance setiap tim di semifinal sudah setara alias masing-masing 25%. Namun bagi saya, Barca tetap-lah Barca. Apalagi di sana ada seorang pesepakbola bernama Lionel Messi. Selama ada dua kombinasi menyeramkan ini, Anda tidak boleh untuk menyingkirkan mereka dari arena persaingan. 

Sorry to Liverpool but you have to be more foucused on domestic league! You're fighting one of the best teams in this planet with arguably the best footballer in the world!

Spurs and Ajax? It looks sexy if the young guns Ajax can go along the way to the final and see what they can do. 
Because, there are at least 5 players in the starting line up who are 23 years or younger at the moment. Wouldn't be interested to see Andre Onana (23), David Neres (22), Kasper Dolberg (21), Matthijs de Ligt (19) and last but not least, Frenkie de Jong -who will be joining Barcelona next season, playing against his future team in Wanda Metropolitano? And asking them over their unforgettable experiences while in the Mixed Zone?

 

Penulis :IG @bungharpa

Berita Terkait