Can Jakartans Follow the Moscow?

Can Jakartans Follow the Moscow?

BD - Dalam rapat kabinet, Presiden Rusia Vladimir Putin tergelak mendengar pernyataan salah seorang menteri-nya yang berencana mengekspor daging babi ke Indonesia. 

Putin menutupi mulutnya karena tak tahan geli mendengar wacana tersebut. Putin, paham bahwa penduduk Indonesia sekitar 80% penganut Muslim yang tentu saja tidak mengkonsumsi babi. 

Si menteri sempat kebingungan melihat respon Putin. "Kenapa Anda tertawa, apa yang lucu?" sahut sang menteri kala itu.

"Anda tahu, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dan mereka tidak makan babi," sahut Putin ke menterinya masih menahan rasa geli-nya. 

Kejadian itu menjadi viral karena diliput langsung oleh media setempat. 

Sekelumit kisah di atas sedikit banyak menggambarkan bagaimana karakter orang Rusia.

Oiya, sebelum lebih jauh menggambarkan bagaimana wajah penduduk Rusia selama Piala Dunia (PD), saya ingin kasih tahu satu hal. Mereka paling bingung melihat orang Indonesia nyengir / ketawa tanpa alasan yang jelas. 

Orang Rusia sangat 'Direct'. Tidak suka berbasa-basi. Mungkin mirip dengan orang Batak kalau di Indonesia. 

Mereka tidak punya jiwa feodal. Apalagi selepas keruntuhan Tsar yang memerintah Rusia kala itu. 

Pada umumnya, orang Rusia merasa kasta mereka sama. Itu mengapa, kalau Anda mengirim surat atau memanggil orang selalu diawali dengan kata 'Tawaris; atau yang artinya 'Saudara'. 

Tak peduli lawan bicara Anda seorang Putin atau penjual hotdog di pinggir jalan. 

Yang punya jabatan tinggi tak pernah merasa dihina kalau bawahan mengkritik, bawahan pun tak sungkan mengoreksi atasan kalau dirasa perlu. 

Nah, steoreotype mereka ini-lah yang kerap digambarkan sebagai orang yang kaku, dingin, dan keras. Memang tidak 100% salah, tapi juga jelas tidak 100% benar. Bahkan jauh dari kesan itu. 

Mereka adalah orang yang solider, sopan, serta menjunjung tinggi etika. Mendahulukan wanita, orang tua dan penyandang disabilitas merupakan nilai-nilai yang sudah mengalir di tubuh mereka sejak lahir. 

Ayah saya, yang sempat menimba ilmu di era Uni Soviet pada tahun 1960 pernah bercerita. Kita bisa menampar anak muda yang pura-pura baca di kereta karena ogah memberikan tempat duduk bagi orang tua atau wanita hamil. 

Dan, anak muda itu tidak akan marah. Malah sebaliknya, malu! 

Tentara? Jangan coba-coba serobot antrian kalau tidak mau diteriaki ramai-ramai. Bukan seperti di negeri seberang, punya jabatan sedikit tingkah pola-nya sudah seperti raja.

 

Harus diakui, branding dari pesaing utamanya, 'Paman Sam' memang cukup berhasil. Pikiran kita "dibrain wash" seolah-olah ke Rusia itu tidak aman, kaku dan kuno. 

Padahal, paling tidak selama jalan-jalan di Moscow, saya merasa aman dibanding ketika di Paris, Roma atau Berlin. Insting saya mengatakan di sini less criminal di banding banyak kota-kota Eropa yang pernah saya singgahi ketika liputan bola. 

Arsitektur mereka juga sungguh luar biasa. Taman-nya luas-luas, trotoar-nya besar-besar dan kota-nya sungguh luar biasa bersih. 

Mungkin dari kacamata saya, saya berpendapat Moscow merupakan salah satu kota terbersih di Eropa. 

Memang, saya belum melihat kota-kota lainnya seperti Nizhny Novgorod atau St. Petersburg yang rencananya akan saya singgahi beberapa hari ke depan untuk menyaksikan perempatfinal Perancis v Uruguay dan semifinal yang sejauh ini belum ditentukan siapa tim-nya. 

Namun paling tidak impres awal saya terhadap Rusia relatif baik. Kalau ada nilainya 9.5 lah

Keramahan dan 'keringan tanganan' mereka pun benar-benar mematahkan steoretype yang selama ini terdengar. Beberapa kali, mereka menolong saya dan rekan yang kesasar tanpa harus diminta. Bayangkan! Tanpa harus diminta. 

Sepintas mereka terlihat cuek, tapi sebenarnya ada ruang di hati mereka yang sangat perdulu siap membantu kalau dirasa perlu. Terutama bagi orang asing seperti kami-kami ini yang tengah bertugas meliput jalannya PD 2018. 

Memang, menurut rekan saya, Ebby -seorang mahasiswi yang tengah mengambil S2 di Rusia, wajah orang Rusia khususnya Moscow lebih ramah dibanding biasanya selama Piala Dunia ini. 

Tapi, hey paling tidak perhelatan PD ini membuat orang Rusia terus bertranformasi menjadi lebih baik dan ramah. Bukan kah itu sesuatu yang positif? 

Saya pribadi berpendapat, masyarakat dunia adalah korban branding dari dua kutub jagoan dunia. Barat dan Timur. 

Barat dengan cerdik-nya menstempel Rusia dkk sebagai negara yang tertutup dan galak. Saya juga baru tahu kalau julukan 'Tirai Besi' atau 'Beruang Merah' datang dari AS dkk. 

Hebatnya lagi, mereka melabeli diri mereka sendiri dengan julukan ala Disnedyland: 'Uncle Sam'. 

Anyway, saya bukan ingin mengupas Rusia dari sudut pandang suka dan tidak suka. 

Saya hanya ingin mengatakan sering stereotype yang beredar sangat jauh dari kenyataan. Gampangnya begini. Orang yang katanya jahat justru malah sering kali kenyataannya baik dan ringan tangan. Sebaliknya, orang yang katanya ramah malah sebenarnya tidak sebaik yang terlihat di luar. 

So, singkat kata menurut kaca mata saya PD kali cukup berhasil mengubah image orang akan Rusia yang kaku dan galak. 

Nah, tantangan untuk kita orang Indonesia khususnya Jakartans. Mampukah kita memanfaatkan Asian Games Agustus nanti untuk menjadi entitas yang lebih baik? 

Mengingat ratusan ribu tamu akan membanjiri Jakarta dan sebagian Palembang untuk mengikuti pesta olahraga terbesar bangsa Asia? 

Mampukah kita berhenti di belakang garis zebra cross ketika di lampu merah? 

Mampukah kita menunggu orang menyeberang jalan sampai di ujung baru menggeber kendaraan kita? 

Mampukah kita mengantri saat di loket tiket, atau apapun itu?

Mampukah kita tidak membuang sampah sembarangan, eventhough hanya secuil kulit kacang? 

Maukah kita meluangkan sedikit waktu untuk membantu turis / orang asing yang tengah kebingungan / nyasar? 

Can we follow the Moscow?

 

|| @harispardede ||

Berita Terkait